Jumat, 21 Mei 2021

 

“Never put off until tomorrow that we can do today.” Tak pernah menunda sampai besok apa yang dapat kita dilakukan hari ini. Menunda berarti meniadakan. Aku tak pernah menyia-nyiakan waktu. Kupakai waktuku seefektif mungkin. Informasi yang telah kuperoleh dari seorang teman lebih berharga ketimbang emas murni  100 gram.

Bunyi bell pulang telah terdengar. Jam pelajaran terakhir telah usai. Kukemasi semua buku dan alat tulis. Ketua kelas menyiapkan dan berdoa bersama. Setelah selesai berdoa kami semua menghormat kepada bapak guru, “Selamat siang, Pak. “Selamat, siang” pak guru menjawab.

Kukayuh sepedaku. Kuikuti temanku dari belakang. Setelah keluar dari jalan Gerbang SMAN 1 Pati , aku belok kanan menyusuri Jalan Sudirman. Setelah sampai di pertigaan aku belok kiri, sampai perempatan Pasar Puri , aku belok kanan ke arah timur menyusuri  Jalan Diponegoro. Setelah sampai di perempatan Jalan Penjawi, aku belok kiri dan aku ke utara aku susuri Jalan Penjawi. Kira-kira 300 meter temanku menunjuk sebuah rumah limasan tua dengan halaman yang sangat luas. Di sebelah rumah terdapat musholla tua tetapi terlihat masih kokoh.

Kuketuk pintu sampai tiga kali sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum,”kataku. “Walaikum salam,”terdengar suara dari dalam rumah. “Apa benar ini rumah Bu Muniroh?” tanyaku kepada seorang laki-laki setengah baya tadi.  “Iya,” jawabnya. “Boleh aku bertemu dengan Ibu Muniroh” tanyaku lagi pada orang tersebut. “Tunggu sebentar, biar kupanggilkan,” jawab orang itu. Setelah aku menunggu sebentar, perempuan tua dengan kulit putih muncul dari balik pintu. Kemudian aku utarakan maksud tujuanku bertamu ke  rumah itu. Rupanya Ibu Muniroh menerima proposalku. “Baiklah, mulai besok pagi kamu dapat tinggal disini tetapi dengan catatan kamu harus rajin,jujur, mau sholat, mau membantu kerja sehabis pulang sekolah dan tidak boleh sering pulang ke desamu. Sebagai imbalanya kamu dapat makan dan minum disini, setiap pagi kamu dapat uang saku, dan setiap bulan kamu kuberikan uang SPP untuk bayar sekolah. Kamarmu itu di bagian depan,” beliau menjelaskan persyaratan untuk tinggal di rumah itu. “Aku bersyukur kepada-Mu, Ya Allah atas jalan yang Engkau berikan kepada hamba-Mu ini,”hatiku berkata demikian. Secara spontan kuucapkan terima kasih kepada Ibu Hajah Muniroh. “Syarat-syarat yang  begitu mudah,” pikirku.

Esok harinya, aku mohon doa restu ibu dan saudara-saudaraku. Hari itu hari Minggu. Aku bawa beberapa potong pakaian sekolah, pakaian harian  dan buku-buku sekolahku. Aku berjalan kaki kira-kira setengah kilo untuk sampai ke jalan raya. Setelah menunggu sebentar ada mobil pick up  ke Winong. Dari Winong aku naik bis mini ke Pati. Setelah sampai di terminal aku naik bis mini lagi jurusan Tayu kemudian turun di Jl. Penjawi Gang V.

Setelah tiba dan masuk rumah Hajah Muniroh, kutata semua barang bawaanku di kamar yang telah diserahkan kepadaku untuk ditempati.  Di hari pertama di rumah itu, aku berkenalan dengan para pekerja yang ada di situ. Nama-nama pekerjanya  adalah Mas Muakad, Mas Sarusmanto, Mas Sunawi,Mas Pan,Mas Mat,Mas Jayen,Mas Tono. Karena aku adalah anak baru, aku harus pandai-pandai menyesuaikan diri.  Sopan santun dan andap ashor harus saya tunjukkan kepada mereka semua. Sebagai anak baru aku harus pandai – pandai mencuri hati mereka. Aku tak ingin ada konflik kecil kepada mereka sehingga aku harus mengalah dalam pekerjaan ataupun  dalam perkataan. Alhamduliillah, dalam waktu relatif singkat, aku dapat beradaptasi dengan mereka.

Siang telah berlalu. Malampun telah tiba. Setelah selesai menunaikan sholat magrib berjamaah dan makan malam , kucuci semua piring dan gelas yang telah dipakai oleh para  pekerja untuk makan.  Kemudian kutaruh  piring dan gelas di rak yang terbuat dari kayu.

Dari para pekerja itu yang masih bersekolah adalah Mas Sarusmanto, Mas Kasnawi dan Mas Muakad. Mas Sarusmanto dan Mas Sunawi sekolah di SMA sedangkan Mas Muakad kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Pati.

Setelah sholat Isya, kutata dan kusiapkan buku-buku pelajaran yang besok pagi ada jadwal pelajaran. Aku  belajar sampai pukul 09.00 malam. Setelah merasa mengantuk, aku menuju ke tempat tidur.

 Ibu Muniroh adalah sangat baik hati. Sebelum tidur beliau menyulut obat nyamuk bakar dan dibagikan kepada semua pekerja dan termasuk aku. Waktu itu usia  beliau sekitar 60 tahun. Sebelum tidur beliau sering sholat beberapa rekaat setelah sholat Isya dan memutar-mutar tasbih untuk berdzikir.

Pertama kali di rumah tersebut,  terkejut ketika jam dua tiga puluh fajar,semua pekerja harus dibangunkan. “Ayo bangun, ayo bangun, ayo bangun, sudah jam setengah tiga!” suara terdengar agak keras dari seorang seniorku.  Dengan mata masih terkantuk-kantuk, aku ikuti instruksi seniorku. Aku menuju ke tempat pemotongan sapi yang berada di sebelah rumah utama. Rumah ada dua. Rumah bagian depan dan rumah bagian belakang. Rumah yang ada di bagian belakang  dipakai untuk tidur para pekerja dan rumah utama dipakai oleh ibu Muniroh. Sedangkan dua kamar yang ada di bagian depan kupakai dan kamar satunya dipakai oleh Mas Mat.

Walau masih mengantuk, aku harus memaksa mataku terbuka.  Kuraih tali dari salah satu yang diikatkan di kaki sapi. “Ji...Ro....Lu.....regedeg...brug........,” aba-aba dari seorang komando. Aku ikut menarik tali dengan sekuat tenaga sesuai dengan perintah salah satu senior. Sapi besar jantan roboh seketika. Setelah sapi roboh,  dengan sigap lima pekerja cepat-cepat mengikatkan tali pada kaki-kaki pada sebuah bambu sedemikian rupa sehingga sapi tersebut tak mampu bergerak. Parang yang sangat tajam (sejenis pedang) ditaruh di leher sapi tersebut oleh Mas Muakad, dengan menyebut “Audzubillahimina syaetonnirojiin...,Bismillahirrohmannirrohim...,” Nges....suara parang yang sangat tajam memotong leher sapi, keluarlah darah segar dan matilah sapi tersebut. Kemudian sapi dikuliti dan dagingya yang bersih dibawa ke tempat pengolahan daging.

Setelah selesai menyembelih dan mengusung daging, tiba waktunya sholat shubuh. Mas Muakad mengumandangkan azhan sholat shubuh dengan suara yang merdu dan khas. “Allahuakbar Allahuakbar2x... Ashhaduallaillahaillalloh2x...Ashaduannamuhammadarrosullulloh2x....Khaialassholah2x...Khaialalfallah2x....Asholatukhoiruminannaun2x....Allahuakbarallluhuakbar. Laillahaillalloh....” Teman-teman secara bergantian menunaikan sholat shubuh termasuk aku. Usai sholat dan berdoa seperlunya, aku mulai memotong-motong daging untuk dipisah sesuai dengan jenisnya. Selain itu, para pekerja lain dan aku memisahkan daging dari tulang.

“Ini daging untuk buat glindingan baso,” kata salah seorang teman. Daging itu harus dihancurkan sampai lembut dengan dua besi yang agak berat oleh kedua tangan. Akupun tak tinggal diam. Dengan sekuat tenaga bersama dengan seorang pekerja senior, kuhancurkan dan kulembutkan  dua kilo daging . Keringatku banyak yang keluar. Setelah kira-kira jam lima tiga puluh, aku sarapan dengan membakar seiris daging segar yang kuolesi dengan kecap. Kulakukan ini, sebenarnya meniru dari teman seniorku.

Setelah sarapan dan bersih bersih, kubawa tas dan aku pamit untuk bersekolah. Aku diberi uang saku. Kemudian kukayuh sepedaku menuju  sekolah. Karena fajar, aku harus bangun dan kerja extra keras, sesampai di sekolah aku sering mengantuk. Apalagi kalau ada pelajaran oleh bapak atau ibu guru yang kurang menarik dalam mengajar. Pernah aku ditegur oleh beberapa bapak dan ibu guru karena mengantuk pada saat pelajaran berlangsung. Tetapi setelah kuceritakan apa yang saya alami, mereka pun memaklumi keadaanku.

Walaupun demikian kalau akan ulangan, aku harus belajar  semaksimal mungkin supaya dapat mengerjakan ulangan dengan baik. Aku menyadari bahwa di sekolah kurang berkonsentrasi menerima pelajaran dikarenakan lelah dan mengantuk, oleh karena itu buku-bukuku haruslah lengkap. Kalau bapak dan ibu guru sedang mengajar, biasanya ku perhatikan buku-buku yang dipakainya, kemudian saya mencari buku-buku tersebut di toko buku dan saya membelinya dengan menggunakan uang sakuku yang beberapa hari kukumpulkan. Kemudian buku tersebut kupelajari pada malam hari.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar