Jumat, 21 Mei 2021

 

Ruang kelas I 8 ( satu delapan) berada pas diatas ruang kepala sekolah. Siswa  kelas satu delapan berjumlah 40 siswa. Kami istirahat dua kali dalam sehari. Hari itu hari Sabtu. Jam pertama dan kedua adalah melukis oleh Bapak Soeroto. Jam  ketiga  dan keempat adalah Bahasa Inggris oleh Bapak Hasbulah. Setelah itu istirahat, jam berikutnya adalah pelajaran sejarah oleh Bapak Soeparno Hadi. Jam terakhir tidak ada guru alias kosong. Yang bertugas piket pada hari itu sudah berusaha ke ruang guru untuk memastikan bapak guru yang mengajar. Tetapi setelah dari ruang guru, mereka mendapat jawaban bahwa bapak guru yang ada jam pelajaran dikelasku sedang sakit dan tidak ada tugas. Siswa disuruh belajar sendiri sambil menunggu jam pelajaran berakhir.

“Medeka...,” terlontar dari beberapa mulut  temanku. “Kita bebas....,” kata beberapa teman lain. Pesan untuk belajar sendiri yang dibawa oleh temanku tidak terlaksana. Para siswa sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ada yang ngobrol keutara dan keselatan tanpa tujuan. Ada yang berjalan kesana kemari untuk ngerjain teman. Ada yang berkelompok kecil untuk mendiskusikan cara bapak/ibu guru mengajar. Ada yang sebagai profokator untuk mblurut alias pulang gasik sebelum bel pelajaran terakhir berbunyi.

Maklum masih kelas satu. Masih takut-takut. Menunggu adalah sesuatu yang paling membosankan. Dalam Bahasa Inggris, “ Waiting is boring.” Aku sendiri tak banyak bicara. “Bagus itu, kalau pulang....,” pikirku dalam hati.  Aku  kan dapat memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang lain di rumah. Pesan untuk belajar sendiri berubah menjadi situasi  kelas yang kacau balau, seperti kapal pecah, sangat ramai dan tidak menentu.

Separo dari teman kami termasuk aku terprofokasi oleh beberapa teman yang mengajak pulang. Separoh dari teman sekelasku terutama yang laki-laki  dengan menenteng tas keluar dari kelas. “Ayo kita pulang, ayo kita pulang, ayo kita pulang!” ajak beberapa teman. Seandainya saja waktu itu tidak ada rasa takut, seandainya saja di saat itu teman-teman tidak ramai, seandainya saja di waktu itu teman-teman mengambil sikap yang kompak, kita semua akan selamat.

Setelah separoh dari kami keluar kelas dan menuju anak tangga untuk turun, tiba-tiba muncul kepala sekolah, bapak Roeslani Narimo naik dari anak tangga menuju ke kelas kami.

Serentak anak-anak yang tadi sudah berada diluar kelas berlarian masuk menuju ke ruang kelas kembali. Mereka berusaha untuk duduk kembali ke kursinya masing-masing untuk mencari selamat. Demikian juga aku. Aku berlari sekuat tenaga untuk bisa mencapai tempat dudukku.

Dengan hitungan detik,  bapak kepala sekolah sudah berada di depan kelasku. Ia sangat marah sekali. Beliau berkata,”Siapa yang menyuruh kalian ramai seperti ini? Siapa yang menyuruh kalian pulang? Sekolah ini ada aturannya. Sebelum jam pelajaran berakhir semua siswa dilarang untuk pulang. Kamu kan dapat belajar!” Kami semua takut. Kami semua menundukkan kepala. Kami semua diam seribu bahasa. Kami semua membisu. Tak sepatah katapun keluar dari mulut kami. Kami semua memasukkan semua kata-kata marah yang mengandung nasehat kebaikan kedalam telinga kami dan hati kami.

Setelah sepuluh menit bapak kepala sekolah memberi wejangan, bel berakhirnya jam pelajaran terdengar. Kami semua lega. Setelah bapak kepala sekolah menyuruh ketua kelas untuk menyiapkan, ketua kelas melakukan perintah kepala sekolah.  Setelah semua siswa berdoa dan memberi salam,  kami semua pulang.

0 komentar:

Posting Komentar