Jumat, 21 Mei 2021

 

Keinginan yang begitu kuat untuk masuk ke SMA Negeri 1 Pati, membuat aku harus belajar extra keras dan berdoa extra khusuk. Waktu masih tersisa kira kira dua bulan lagi untuk ebtanas. Sepulang sekolah dan setelah makan siang dan sholat dhuhur,  kubawa buku catatan dan buku paket.  Aku mencari tempat yang enak untuk menghafal materi pelajaran tersebut. Sawah dan gubug sebagai tempat favoritku untuk belajar. Tempat kedua yang kusenangi adalah di belakang rumah di bawah pohon rindang.

Ujian Praktik dan ebtanas telah dilaksanakan. Hasil ebtanas telah diumumkan. Tahun 1995 adalah ebtanas pertama bagi satuan pendidikan SMP yang mana hasil dari ebtanas tersebut digunakan langsung untuk mendaftar SMA/SMEA/SPG/SGO/MAN. Hasil ebtanas ku adalah 45,00 dan berada di peringkat tiga sekolah. Rangking pertama diraih oleh Kaslan dengan jumlah nilai 48,00. Sedangkan peringkat kedua diambil oleh Patmolujeng. “Terima kasih, Ya Allah,” aku bersyukur kepada Allah.  Walau aku memperoleh nilai  yang lumayan tinggi, aku kurang yakin dengan nilaiku untuk masuk ke SMAN 1 Pati.

Pendaftaran sekolah telah dibuka. Aku foto copy nilai Ebtanas dan Ijazahku dan kulegalisir rangkap lima. Pada waktu itu, aku mendaftar tiga sekolah sekaligus. Target pertamaku adalah  masuk di SMA Negeri Pati . Target kedua adalah SMEA Pati. Sedangkan sekolah ketiga yang kutuju adalah SMAN 2 Rembang. Semua persyaratan pendaftaran kulengkapi. Salah satu syarat pendaftaran adalah foto copy hasil ebtanas yang sudah dilegalisir. Pada waktu itu nilai yang dipakai untuk mendaftar adalah foto copy nilai murni yang sudah dilegalisir, tidak menggunakan nilai Ebtanas asli. Oleh karena itu, setelah pengumuman  namaku tertulis di daftar pengumuman siswa baru yang diterima. Namaku ada di daftar pengumuman di SMA Negeri 1 Pati, di SMEA 1 Pati sekaligus di SMA Negeri 2 Rembang. Karena sejak awal aku ingin masuk ke SMAN 1 Pati, maka untuk sekolah secara otomatis kutinggalkan. Bukan aku tidak senang pada sekolah tersebut, tetapi tidak mungkin aku bersekolah di tiga tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan.

Senang dan sedih bercampur dalam hatiku.  Senang karena aku dapat memasuki sekolah menengah yang tervaforit di Kabupaten Pati pada saat itu. Dengan bermodal  tekat dan kemauan yang keras tanpa tes dan tanpa membayar uang sepersenpun hanya dengan  bermodal nilai Ebtanas, aku dapat memasuki sekolah yang bergengsi. Gembira, karena Allah telah mengabulkan salah satu doaku untuk bersekolah di SMAN 1 Pati. Sedih, karena aku harus memikirkan seragam. Sedih, karena aku harus membayar uang BP 3. Susah, karena aku harus membeli buku buku catatan atau buku paket. Susah, karena aku harus berusaha sendiri bagaimana aku harus dapat makan minum dengan usaha sendiri . Sedih, karena aku harus menempuh perjalanan yang begitu  jauh setiap hari kira-kira 16 kilometer dari desaku ke SMAN 1 di kota Pati.

Tidak masalah. Aku menghibur diri. Insya Allah, Allah akan memberi  jalan keluar dari semua kesulitan ini. Dengan sepeda onthel RRT yang diberikan oleh keluarga bapak Roeka, kukayuh setiap jam 5 fajar sehabis sholat subuh. Jarak yang begitu jauh kutempuh kira-kira satu setengah jam. Sehingga pukul enam tiga puluh sudah sampai di halaman sekolah.

Hari-hari pertama masuk sekolah, aku masih bersemangat untuk bersepeda. Tetapi setelah dua bulan kujalani, aku mulai kelelahan. Aku mulai berfikir adalah tidak mungkin aku kost karena ibuku tak dapat dapat membayar biaya kost. Adalah tidak mungkin ibu mampu membayar SPP dan BP 3. Adalah tidak mungkin, ibu membelikan buku-buku secara terus menerus. Adalah tidak mungkin, ibuku membelikan pakaian seragam dan pakaian harian untukku. Adalah tak mungkin, ibuku membayar iuran sekolah yang mendadak. “Ya Allah, berikan jalan keluar dari semua masalah yang kuhadapi,” doaku kepada Yang Maha Kuasa.

Waktu terus bergulir. Tahun berlalu. Bulan berjalan. Hari berlari. Jam,menit dan detik berkejaran. Seiring waktu yang berganti, bertambah pula usiaku. Adalah tak baik, aku membebani ibu terus menerus. Aku harus mandiri. Aku harus mampu belajar sambil bekerja. Aku harus mampu membagi waktuku seperti aku duduk di bangku SMP ku dulu.

Waktu itu aku duduk di kelas I 8 (satu delapan).  Teman-temanku rata-rata dari golongan orang yang berada. Banyak dari mereka yang berkendara sepeda motor bila  bersekolah. Waktu beristirahat tiba, aku duduk ngobrol dengan temanku. Kuswanto namanya. Dalam pembicaraan tersebut kami ngobrol keutara keselatan tak tentu arah, mulai dari asal sekolah, asal desa, kerja orang tua, sampai permasalahan yang kami hadapi.

Kemudian aku bertanya pada temanku, “Kus, adakah di sekitar tempat tinggalmu  sebuah  keluarga yang mau menerimaku? Aku dapat bekerja di sana, aku dapat minum disana, aku dapat beristirahat disana, aku dapat sholat disana, aku dapat membaca Al Quran disana, aku dapat beribadah disana, aku dapat tidur disana, aku dapat belajar disana, aku dapat bersosialisasi disana, aku dapat menyandarkan seribu harapanku disana? Banyak pertanyaan yang kulontarkan kepadanya. Ia hanya terdiam.

Kuswanto, juga dari keluarga yang kurang berada. Ibunya berjualan bubur dan lonthong di pagi hari sebagai sandaran hidup. Sepulang sekolah, ia harus bekerja membanting tulang membungkus es cemut pada seorang pedagang keturunan. Sebagai imbalannya, ia diberi uang jajan setiap hari dan uang SPP setiap bulan.

Lama ia berfikir untuk menjawab pertanyaanku. Akhirnya ia angkat bicara, “Baiklah, ada tetangga saya  yang setiap fajar menyembelih sapi. Ia seorang janda, sudah haji. Namanya Hajah Muniroh. Anak-anak beliau sudah berhasil semua. Ia baik hati dan suka menolong. Ada sekitar 5 pekerja, 3 diantaranya masih sekolah. Alamatnya di Jalan Penjawi Gang V. Temuilah beliau. Siapa tahu beliau dapat membantumu.” “Terima kasih, Kus, nanti setelah pelajaran aku akan meluncur ke lokasi tersebut,” jawabku kepadanya.

 

 

 

 

 

EBTANAS kurang tiga bulan lagi. Aku harus mengambil sikap. Bagaimanapun juga aku harus mempersiapkan dengan lebih baik untuk penguasaan materi pelajaran. Tahun menunjuk 1995. Hasil nilai ebtanas murni digunakan sebagai acuan untuk mendaftarakan sekolah ke jenjang  yang lebih tinggi. Nilai ebtanas murni akan menentukan nasib untuk memilih sekolah yang akan dituju.

Pada waktu itu, ada 6 pelajaran yang diebtanas-kan yaitu Matematika,Bahasa Inggris,Bahasa Indonesia, IPA, IPS dan PMP. Persiapan yang baik untuk hasil yang baik. Persiapan yang lebih baik untuk hasil yang lebih baik. Persiapan yang paling baik untuk hasil yang terbaik. Aku ingin hasil ebtanas yang terbaik sehingga persiapan akupun harus yang paling baik.

Dengan berat hati, kutuliskan sepucuk surat perpisahan. Ini isi dari suratku “Bapak,Ibu Roeka, Mas Wit, Mbak Ida dan Kokok yang terhormat dan baik hati. Terima kasih kuucapkan. Bapak, Ibu dan keluarga telah memberi aku makan, telah memberi aku minum, telah memberi aku tumpangan, telah memberi aku uang untuk biaya sekolah, telah membelikan aku pakaian seragam sekolah, telah memberikan aku pakain harian, telah mengajari aku bagaimana untuk bertahan dalam badai, telah membimbing dan mengarahkan aku, telah memberikan aku kasih sayang. Kini, sudah saatnya aku harus meninggalkan rumah ini. Ku tak kuasa matur secara lesan. Oleh karena itu kugoreskan tinta di secarik kertas ini sebagai ucapan rasa terima kasihku. Semoga Allah Yang Maha Segala-galanya yang dapat membalas kebaikan bapak dan ibu sekeluarga. Amin”

Walaupun tak ada masalah yang berarti, aku harus tahu diri.  keluarga pak Roeka tidak pernah meminta aku untuk meninggalkan rumah itu. Aku berfikir berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk kuliah Mas Wit di UGM, untuk biaya kuliah Mbak Ida di UNTAG untuk biaya Kokok di SMA, untuk biaya keponakan beliau di SMA PGRI Pati? Tidak,  aku tidak boleh egois. Aku tak boleh mementingkan diriku sendiri.

Setelah sepucuk surat perpisahan kutulis, kutinggalkan diatas meja rumah tengah. Kubawa pakaian dan bukuku. Aku pulang ke rumah asal di desaku. Meski agak jauh dari lokasi SMP, jarak tidak masalah bagiku. Tiga bulan aku nyepeda onthel dari desa ke SMP Winong yang berjarak kira-kira dua kilometer. Aku punya banyak waktu untuk belajar. Aku tak ingin hasil ebtanasku jatuh. Aku harus belajar keras. Dengan  pulang ke desaku aku mempunyai banyak waktu untuk berkonsentrasi untuk belajar.

Seberapa sulit situasi, seberapa menderita aku,  tetapi   tetap kutunaikan sholat lima waktu sehari semalam  . Shubuh, Dhuhur, Ashar, Magrib dan Isya’. Jariku lima. Sebagai misal jariku  tidak berfungsi satu saja, maka akan merasa kurang untuk melakukan kegiatan. Demikian kalau aku ketinggalan satu kali waktu saja karena suatu hal maka seakan ada yang kurang di hatiku.

“There is a will...there is a way...” Ada kemauan... ada jalan. Ada dua tujuan, aku pulang ke desaku. Pertama aku mempunyai tambahan waktu untuk belajar, sehingga aku dapat mengerjakan ebtanas dengan baik dan dapat mencapai nilai yang setinggi tingginya sesuai dengan kemampuanku.  Yang kedua dengan capaian nilai yang tinggi aku dapat masuk ke SMAN 1 Pati.

 

 

Pagi itu pukul 6.20. Usai ganti pakaian, mengecek ulang buku pelajaran dan buku catatan, aku pamit sama Bu Roeka untuk berangkat ke sekolah. Karena jarak rumah dengan sekolah dekat, aku berjalan kaki. Waktu itu aku masih teringat, jam pertama adalah jam Biologi dan ada ulangan. Guru biologi begitu ketat kalau mengawasi pada saat ulangan harian. Terlepas ketat atau tidak, pantang bagiku untuk nyontek atau tanya pada teman waktu ada ulangan.

Sebenarnya materi ulangan sudah kuhafal dari rumah. Aku merasa bahwa materi ulangan Biologi belumlah cukup. Kukeluarkan buku catatan biologi dari tas hitamku. Sambil berjalan, kupelajari semua materi yang akan digunakan untuk ulangan harian jam pertama nanti. Tak kusadari, ada salah seorang guru SMP yang memperhatikanku. Saat itu, aku berjalan sambil membaca buku. Tetapi karena asyiknya belajar, aku tak mempedulikan beliau.

Sesampai di halaman sekolah kututup buku biologiku. Aku sudah merasa lebih siap untuk menerima ulangan dengan membaca materi selama kira-kira lima belas menit sewaktu perjalanan dari rumah ke sekolah.

Bel masuk berbunyi. Semua siswa masuk kelas termasuk juga aku. Kusiapkan selembar kertas untuk menerima ulangan. Bu Mardini guru Biologiku masuk. Setelah ketua kelas menyiapkan dan memberi hormat, kami semua duduk.  “Ayo anak-anak hari ini ulangan. Keluarkan selembar kertas! Tulis nama, nomer absen dan kelas!” guruku memberi perintah. Begitu Bu Guru selesai memberikan perintah, aku mengambil kertas kutulis nama, kelas dan nomor absenku. Semua soal yang diberikan kukerjakan dengan baik. Waktu yang diberikan Ibu Guru untuk mengerjakan soal telah selesai. Pekerjaan dikumpulkan.

Usai ulangan, jam pelajaran Biologi masih tersisa beberapa menit. Sambil menunggu jam berakhir, beliau menanyakan soal apa yang kira-kira sulit dikerjakan. Semua siswa diam. Selanjutnya Bu Guru menambahkan saran-saran,”Kalau ingin mendapatkan nilai baik, ya harus mau belajar sungguh-sungguh di rumah. Belajar itu jangan sambil jalan. Berjalan di jalan raya kok sambil belajar. Kalau dari depan ada sepeda motor atau mobil kalau ketabrak kan bisa meninggal dunia,” guruku memberi nasehat. Aku tahu bahwa secara tidak langsung ibu guru tadi menasehatiku, tetapi beliau tidak menyebut namaku secara langsung.

“Terima kasih sarannya Bu, “gumanku dalam hati. Kemudian aku memprotes beliau dalam hatiku,”Tidakkah bu guru tahu bahwa waktuku di rumah harus saya bagi empat, satu bagian untuk membantu pekerjaan dari keluarga yang telah menghidupi dan menyekolahkan aku, bagian kedua untuk mengaji dan beribadah, bagian  ketiga untuk istirahat, dan yang keempat untuk belajar materi pelajaran, dengan demikian waktu untuk belajar dapat dipastikan sangat tidak memadahi?”

Aku tak ingin nilai ulangan harian atau nilai tugas dibawah teman-teman sekelasku atau teman dari kelas lain. Teringat teman-teman seperjuangan sekaligus sainganku di SMP....Imam Suyuti, Listiyono,  Sugiyanto, Sholekhan, Sudarsono, Sri Budi Hartati, Suyono dan lain-lainnya. Sedangkan dari kelas lain adalah Kaslan dan Patmolujeng. Setelah hasil ulangan harian dibagikan kulihat hasil nilai ulanganku dan kubandingkan dengan hasil nilai ulangan teman-teman. Begitu ada nilai teman diatas saya,  aku sangat sedih. “Awas, kalau ada ulangan lagi, nilaiku harus lebih baik dari pada mereka,” kataku dalam hati.

Oleh karena itu dengan keterbatasan waktu, aku harus mampu membagi waktu dengan baik. Biasanya aku belajar dengan membaca buku pelajaran dengan tiduran, dengan duduk, dengan berdiri, bahkan pernah kulakukan dengan jongkok disaat membuang hajat besar.

 

Aku terbiasa bangun sekitar pukul 03.30. Dengan mata yang sedikit masih terkantuk-kantuk, kusisihkan sarung. Kuinjakkan kakiku di lantai yang dingin. Kuhidupkan lampu penerang dari teplok dengan bahan bakar minyak tanah. Waktu itu belum ada jaringan listrik. Kuraih air wudhu. Kubaca niat dalam hati.Kubasuh kedua mukaku. Kuratakan air wudhu di kedua tangan sampai atas siku. Kubasuh sebagian kepala dan kedua telingaku. Yang tearakhir kubasuh kedua kakiku sampai mata kaki.

Setelah hilang hadas kecil, kuraih sajadah dan menghadap kiblat. Kujalankan sholat tahajut. Setelah dua rekaat kutunaikan , kemudian aku berdoa padaTuhanku, “Ya Allah, ampunilah semua dosa dosaku. Ya Rob, ampunilah dosa kedua orang tuaku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa orang-orang yang pernah menolongku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa semua guruku. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa  Pak Roeka sekeluarga yang telah menerimaku disini sebagai anggota keluarga yang baru. Lapangkanlah rejeki keluarga Pak Roeka, sehingga mereka dapat membayar uang BP3, uang SPP, dan biaya sekolah lain dan  biaya keperluan hidupku. Aku menghadap ke hadirat-Mu pada fajar ini,Ya Allah .Tolonglah aku, ya Allah. Mudahkanlah aku dalam menuntut ilmu.  Untuk bekal kehidupan di dunia dan di akherat kelak.” Tak  terasa air mataku keluar dari kelopak mata dan membanjiri kedua pipiku.

Setelah selesai berdoa, kuraih buku-buku pelajaran. Kubaca dan kumakan habis semua isinya. Bahasa Inggris,Matematika,Bahasa Indonesia, IPS, IPA, PMP dan pelajaran lain yang aku  sesuaikan dengan jadwal pada hari tersebut. 

Adzhan sholat  subuh sudah terdengar berkumandang dari kejauhan. Kuhentikan belajarku. Kutunaikan sholat subuh dua rekaat. Usai sholat subuh dan berdoa seperlunya, aku segera meninggalkan tempat sujudku untuk  membantu pekerjaan keluarga pak Roeka. Aku menyadari bahwa di rumah inilah aku menyandarkan hidup, dirumah inilah aku mulai berpijak untuk menuntut ilmu lebih lanjut. Oleh karena itu, sudah selayaknya aku ikut memperingan beban  pekerjaan yang ditanggung oleh keluarga ini. Aku harus menukar makanan,minuman,tempat tinggal,biaya sekolah,kasih sayang dengan sebagian kecil keringatku. Kalau dihitung dengan uang, tidaklah sebanding  dengan apa yang telah  diberikan kepadaku. Tetapi paling  tidak dengan bantuan tenaga yang kuberikan dapat sedikit memperingan beban yang ditanggung keluarga pak Roeka.

Kuisi kolah dengan air yang kutimba dari sumur. Kedua tanganku secara bergantian mengerek tali untuk menurunkan dan menaikkan timba yang berisi penuh air. Waktu itu pompa air sanyo atau panasonic belum tepasang.  Instalasi listrik belum terpasang. Usai mengerejakan pekerjaan itu, kusapu lantai traso putih dan kupel hingga bersih. Setelah itu, kucuci bajuku sendiri yang kotor, dan kurapikan tempat tidur. Aku tidur di kamar depan. Aku tidur dengan anak terakhir Keuarga Roeka seusia sebayaku yang bernama Tri Handoko alias Kokok. Ia bersekolah di SMPN 1 Pati dan kost.  Bila hari Sabtu, Minggu atau hari libur, aku tidur dengannya.

Pak Roeka mempunyai 3 putra. Sewaktu aku berdiam di rumah tersebut, putra pertamanya bernama Bambang Widiyanto alias Mas Wit diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, sedangkan putrinya yang kedua Mbak Ida diterima di SMAN 1 Pati yang terkenal dengan Castra Jayecswara.

Ikut atau ngenger di sebuah keluarga, harus tahu diri dan selalu main  perasaan. Ada makanan nomor sepuluh, kalau ada pekerjaan harus nomor satu. Walau keluarga pak Roeka tidak pernah menyuruhku untuk bekerja, aku harus tahu diri. Aku makan 3 kali sehari. Aku minum air teh atau kopi tak terhitung berapa gelas sehari semalam. Aku tidur di kasur yang empuk. Aku mandi dua atau tiga kali sehari dengan sabun dan sampo yang sudah tersedia di kamar mandi. Demikian semua kegiatan itu, hampir kulakukan setiap hari, aku tak kenal lelah dan kenal menyerah.


Wali kelas VI telah mengumumkan hasil ujian. Aku mendapat rangking 1 di Sekolah Dasarku. Aku bertekad bulat untuk meneruskan sekolah ke SMP.  Aku tahu bahwa si teman yang sudah mewakili pelajar teladan sudah terlebih dahulu mendapat tempat di salah satu guru SD ku dan sudah mendaftar di SMP.

Seorang teman lain dan masih saudara yang telah menamatkan  SD terlebih dahulu pernah mengungkapkan sebuah pepatah. Ia berkata, “Maksud hati memeluk gunung tetapi apa daya tangan tak sampai.” Kemauan  ingin melanjutkan sekolah di SMP, tetapi dikarenakan biaya tidak mencukupi karena orang tua kurang mampu, ia mengurungkan niatnya. Saudaraku tadi menyerah. Tak sedikit biaya yang harus dikeluarkan  pada waktu itu, untuk masuk ke SMP. Pada awal masuk SMP, orang tua siswa harus menyediakan uang gedung atau uang bangku dan uang seragam.

Kalau pepatah tersebut dipegang  temanku, sehingga ia mudah menyerah untuk tidak meneruskan sekolah, tetapi pepatah itu  tidak berlaku bagiku. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Kalau gunung itu jauh, bila harus ditempuh dengan berlari, ya, aku harus berlari.  Apabila tidak mampu berlari untuk sampai ke gunung tersebut,  aku harus berjalan cepat. Jika tidak kuat berjalan cepat, aku harus berjalan  santai. Kalau tak kuasa berjalan, aku harus mbrangkang. Kalau tak sanggup mbrangkang, ya aku harus ngangsut. Memang letih, memang penat, memang capai, memang susah dan memang  menderita harus mendaki gunung dengan ngangsut.

Pada kenyataanya, secara ekonomi ibu tidak sanggup membiayaiku melanjutkan sekolah dengan membayar uang pangkal/uang gedung dan uang seragam. Namun niat dan semangatku tak akan pernah lekang oleh teriknya panas matahari dan tak pernah lapuk oleh derasnya air hujan, tak akan pernah tergerus oleh derasnya arus sungai, dan tak pernah sedikitpun goyah oleh besarnya badai yang menghantam. Aku harus tetap belajar. Aku harus tetap meneruskan sekolah ke SMP.  Oleh karena itu pada suatu sore hari, dengan sepeda ontelku, aku pergi ke salah seorang  guru SD ku  di desa Kebowan. Nama guruku tersebut adalah Pak Sugiharto. Desa tersebut terletak kira kira 2 km dari desaku.

“Kulonuwun...Assalammualaikum,” dengan mengetuk pintu kuucapkan salam. “Monggo, Waalaikumsalam,” terdengar  jawaban dari balik pintu. “Silakan masuk, Mas, “ guruku mempersilakan aku masuk.   Aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu. “Maaf, Pak, kedatanganku kesini hanya merepotkan Bapak.” kataku untuk memberi rasa sopan. Kemudian aku berkata,  “Aku kesini mau minta tolong sama Bapak . “Minta tolong apa Mas?” beliau penasaran. “Tolong Pak, aku mohon carikan orang yang mau membiayaiku bersekolah ke SMP.  Saya siap untuk membantu kerja apa saja yang penting halal, “kataku. Guruku agak bingung mendengarkan pintaku. Setelah beberapa saat menundukkan kepala dan berfikir, akhirnya beliau menjawab. “Baik, Mas,tunggu satu atau dua hari lagi. Akan aku carikan orang yang mau menyekolahkan Mas,” kata beliau menyanggupinya. Mendengar kesanggupan beliau yang demikian, aku terdiam dan merasa senang sekali, aku mohon pamit dan pulang, tentu saja setelah mengucapkan terima kasih.

Sesampai di rumah aku berdoa , “Ya Allah, semoga aku mendapatkan tempat yang aku harapkan.” Dua hari berikutnya, seperti biasa aku dan beberapa teman berangkat menuju ke sekolah. Hari itu hari penerimaan nilai Ebtanas dan Ijasah dari SD-ku. Sesampai di sekolah sekitar jam 10 pagi, guru kelas 6 memanggil satu demi satu siswa. Sesampai giliranku, akupun maju beberapa langkah dan melihat hasil nilai ujian murniku.”Terima kasih ya Allah, aku memperoleh nilai tertinggi.” kataku dalam hati.

Dengan segudang harapan, kutemui Pak Sugiharto di ruang guru, “Oh ya, sini Mas, Silakan Mas mendaftar saja ke SMP Negeri Winong. Kalau pada pengumuman, Mas positip diterima, ada seseorang yang akan mencarimu.” “Ya Pak, terima kasih sekali,” aku menjawab.  Saya percaya dan yakin akan janji guruku itu, tanpa keraguan sedikitpun.

Hari itu juga, aku mendaftarkan diri ke SMPN 1 Winong. Dua hari berikutnya pengumuman. Nama-nama siswa baru yang diterima sudah ditempel di papan pengumuman. Setelah kucari namaku, ternyata namaku tertera disitu. Berarti aku diterima. Setelah beberapa saat, ada seseorang yang ingin menemuiku.  Sambil menyelidik  orang tersebut bertanya pada calon siswa yang ada di sekitar-ku. “Adakah siswa disini yang bernama Damin?”   “Ya, Pak itu aku,”jawabku sambil maju dua langkah. “Betul Pak, itu namaku,” aku meyakinkan beliau. “Perkenalkan, namaku Roeka. Kalau kamu berniat sungguh-sungguh untuk bersekolah, datanglah besok pagi di rumahku. Rumahku tidak jauh dari sini. Dari SMP ini ke timur kira-kira setengah kilometer, disitu ada Pasar Winong . Di sebelah Pasar Winong ada jalan ke selatan dan ikuti jalan itu. Di penghujung pasar itu rumahku,” beliau berkata demikian.  “Ya, Pak, terima kasih,” aku menjawab.  Setelah mengetahui jawabanku bapak itu pergi meninggalkanku.

Sejuta harapan terjawab sudah. Waktu itu,  hanya sedikit temanku yang dari golongan  mampu,  meneruskan anak mereka ke SMP. “Terima kasih, ya Allah,” aku bersyukur dalam hati. Kupandang langit biru. Kudengar kicauan burung kutilang di sekitar sekolah. Pada saat itu, masih terdengar nyanyian burung-burung yang berkeliaran di alam bebas; burung kutilang,jalak,cendet,pelatuk,drekuku, dan perkutut.

Tak ada orang lain di dunia ini segembira aku.  “Aku dapat bersekolah. Aku dapat meneruskan sekolah di SMP. Aku diijinkan sekolah oleh Yang Maha Kuasa. Allah telah mejawab salah satu doaku,” kataku dalam hati untuk mensyukuri nikmat  Allah yang telah diberikan kepadaku.

Segala sesuatu yang aku alami semua kuceritakan pada ibu. “Ibu, aku diterima di SMP Negeri Winong. Aku telah memperoleh tempat untuk berpijak, yaitu di rumah keluarga Bapak Roeka di dukuh Cangaan, Winong. Ijinkan aku Bu untuk menuntut ilmu untuk bekalku di dunia dan di akherat nanti,” aku berkata dan sekaligus memohon ijin pada beliau. “Ya..le,” jawab ibuku. Mulai besok aku harus keluar dan pergi dari rumah ini. Mulai besok, aku harus bertempat tinggal di rumah keluarga Pak Roeka.

Sore itu, matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Seperti biasa kulangkahkan kaki untuk mengaji. Mungkin malam ini aku harus berpamitan dengan masjid tercintaku.  Setelah kukumandangkan adzan Magrib, kulantunkan sholawat dan kutunaikan sholat Maghrib berjamaah, aku menengadahkan tangan seraya berdoa...”Ya, Allah, tolonglah hamba-Mu ini. Aku memohon kepada-Mu, selalu bimbinglah aku ke jalan-Mu yang lurus dan jalan yang Engkau ridhoi. Kami mulai besok pagi akan bertempat tinggal di rumah keluarga bapak Roeka. Selalu lindungilah  aku. Atas pertolongan-Mu, Ya Allah, jadikan kami kerasan di rumah tersebut. Mudahkanlah aku dalam menuntut ilmu di SMP Negeri 1 Winong,” demikian aku mendo’a.  Kemudian aku berkata di dalam hatiku,”Selamat tinggal masjidku. Mudah-mudahan saya dapat menemukan tempat ibadah dan guru ngaji di tempat baruku nanti.”

Setelah pulang dan menghabiskan sisa malamku, aku bangun di waktu adzan subuh. Setelah sholat subuh di kamar tidur, aku mengemasi beberapa potong kaos, celan pendek dan seragam SD. Aku tidak lupa membawa rapor, ijazah dan surat penting lainnya.  Karena aku tak punya tas berukuran besar, kucoba plastik kresek hitam untuk menaruh barang-barangku, ternyata plastik itu terlalu kecil sehingga tidak muat. Terpaksa aku pakai kain  kantong gandum putih sebagai pengganti tas.

“Audhubillahiminasyaetonirrojiim... Bismillahirrahmannirrahim. Ya Allah...lindungi aku..... kuatkanlah aku....,”sambil meneteskan air mata, kutinggalkan desa tercintaku. Kupanggul kantong putih yang berisi beberapa potong kain. Aku berjalan kira-kira setengah kilo dengan memanggul kantong terigu putih menuju ke jalan raya. Selanjutnya dengan naik kereta kuda, aku menuju kerumah keluaraga pak Roeka.

 

 

Mataku menatap ke langit biru. Kupandang mendung putih tipis bekejar-kejaran.  Mereka berlarian ditiup angin. Kemudian kualihkan pandangan mataku ke sawah dan kebun. Kulihat rerumputan hijau dan tanaman padi yang mulai menguning  di hamparan sawah yang begitu luas.  Setelah beberapa saat  berhenti untuk  melepas lelah dan dahaga, kulanjutkan tugas untuk membabat rerumputan hijau di galeng persawahan  dan kutaruh di dalam keranjang. Setelah keranjang penuh dengan rumput, aku pulang.

Aku dan adikku dibelikan ibu seekor kambing jantan. Kambing itu harus kucarikan rumput yang bagus dan hijau.  Kambing itu nggak mau makan sembarang rumput. Ia hanya mau makan daun-daun dari pohon tertentu dan rumput  yang segar dan hijau. Kalau tak ada rotan akarpun jadi. Kalau tak ada rumput yang  hijau, aku carikan dedaunan dengan cara memanjat  pohon. Kambing kukasih makan rumput hijau dan daun supaya kenyang.

Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas  5 Sekolah Dasar. Sedangkan adikku duduk di bangku kelas dua.Terlahir di kawasan pedesaan, aku harus pandai membagi waktu antara belajar, mengasuh adik , memberi  makan  ayam, menyapu halaman dan rumah dan mencarikan makan kambing. Ibu  adalah seorang pedagang kecil di Pasar Puri dengan menjual anyam-anyaman dari bambu seperti  tampah, dunak,tebok ,kalo,ilir,tambir dan lain-lainnya.  Ibu berangkat sekitar jam 3 fajar dengan berjalan kaki dari Desa Pulorejo,Winong dan menuju ke Pasar Puri di Kota Pati.  Jarak antara desaku dan Pasar Puri  sekitar 15 kilometer. Beliau pulang sampai ke rumah pada jam 5 sore. Sedangkan ayahku telah meninggalkan aku, adik dan ibu waktu aku masih kecil dikarenakan himpitan ekonomi yang begitu berat.

Karena  Ibu  yang  bekerja membanting tulang itulah, aku dan adikku harus berusaha mengurus diri sendiri. Pagi  harus bangun pagi, sholat subuh, memberi makan kambing kesayangan, membeli sarapan di warung, mandi, ganti pakaian seragam , memakai sepatu dan kaos kaki dan barangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Jarak antara sekolah dan Sekolah Dasar Puluhan Kebak sekitar 1 kilometer. Ya, cukup jauh.  Sepeda, pada waktu itu masih terlalu mahal dan tak terjangkau.  Aku tidak berjalan sendiri. Banyak teman berjalan secara bersama-sama . Jarak 1 km terasa dekat, karena  dilakukan secara bersama-sama dan dengan hati senang.

Walau harus berjalan dengan jarak kira-kira 1 km waktu berangkat dan pulang  sekolah , tetapi  pantang bagiku untuk datang terlambat. Saya harus datang lebih awal dari teman-temanku.  Sesampai di sekolah aku bertemu dengan bapak/ibu guru: Bu Ratni, Bu Harni, Bu Nyami,  Pak Setyo, Pak Turi, Pak Lajimin, Pak Sidik, Pak Kuyanto  dan Pak Sugiharto.  Begitu sampai di sekolah, aku dan teman-teman menghormat sambil memberi salam. Aku masih teringat pada teman teman SD-ku; Sukarno, Sardi, Saripin, Kasnawi, Harbono, Nawangsih, Srinah dan masih banyak yang lain.

Pada suatu hari, ibu  guru Kelas V memangil salah satu temanku. Beliau berkata, ” Kamu yang akan mewakili SDN Puluhan Kebak untuk maju  mengikuti perlombaan pelajar teladan di tingkat kecamatan. Dan ini sebuah buku tambahan yang harus kamu hafalkan dan pelajari di rumah.” “Apa..?” kataku. Tersambar petir rasanya.  Hatiku mendidih... mau usul, mau memprotes, mau  berontak tetapi aku tak berani. “Tidaklah adil,” kataku dalam hati.  Mengapa tidak diadakan seleksi dahulu di tingkat kelas?  Tes tertulis atau wawancara? Bukankah setiap siswa mempunyai hak yang sama? Bukankah aku juga mempunyai hak untuk mewakili sekolah ini?

Kupendam usulanku dalam-dalam di dada. Kusimpan air mataku di dalam kelopak mata. Kukubur dalam hati sanubari  semangat untuk menjadi yang terpilih. Setelah pulang dan sampai di rumah, akhirnya aku mengadu pada Tuhanku.“Ya Allah,  mengapa guruku tidak memilihku untuk mewakili lomba pelajar teladan di tingkat kecamatan Winong?” Aku mulai berkaca diri. “Kamu tidak pantas, kamu kan miskin, kamu kan tidak ditunggui ayahmu, kamu kan hanya seorang anak dari  seorang pedagang  anyaman bambu, kamu kan jelek, kamu kan  bodoh!”  Tidak terasa  air mata membasahi pipiku. Kalau alasan yang terakhir, pasti aku bisa menerimanya. Berarti aku harus belajar dan belajar.  Sejak saat itulah  aku berjanji pada diriku sendiri untuk rajin belajar dan bekerja membantu ibu dan  ingin menjadi siswa yang terbaik.

Setelah  sholat Dhuhur, ngliwet dan makan siang dengan lauk seadanya aku dan adikku  pergi mencarikan rumput untuk kambingku.  Sore hari, ibu datang dari berjualan anyaman dan membawa sedikit oleh-oleh.  Aku dan adik memakan oleh-oleh tersebut, kemudian aku  menjalankan sholat Ashar.

Waktu Maghrib mau tiba. Kutenteng sarung, kupakai kopiah dan melangkah dengan pasti menuju ke masjid desa. Antara masjid dan rumah tempat tinggalku tidaklah jauh, hanya berjarak kira-kira  100 meter. Kupegang mik dan kukumandangkan adzan sholat Magrib. Kemudian kulantunkan sholawat sambil menunggu kedatangan  jamaah lainnya. Setelah para jamaah berkumpul kulafatkan iqomah. Selesai sholat, aku mengaji  dengan Pak Rozaq untuk membaca Al Qur’an. Selesai mengaji, aku pulang.  Kemudian aku menyiapkan buku dan mengerjakan beberapa tugas sekolah yang diberikan kepadaku. Setelah selesai sholat, aku berkata pada ibu, “Ibu, besok Minggu saya mau ikut ke Pati untuk membeli buku.” “Iya Le, tapi kamu harus membantu ibu membawakan dagangan dan berjalan!”  “Iya ,Bu!” jawabku.  Aku gembira sekali mendengar jawaban dari ibu.

Hari itu hari Minggu. Sesuai janji  ibu, aku bangun pukul 3 malam. Aku ditalikan 20 buah tampah. Tampah itu dibagi dua.  Masing-masing katan tampah diikatkan   di pucuk mbatan.  Aku harus memikul  kedua renteng tampah tersebut. Di kegelapan fajar, dengan berobor oncor, aku berjalan mengikuti ibu.  Satu kilo meter, dua kilo meter, tiga kilometer belum terasa  berat. Tetapi setelah menginjak  kilometer keempat pundakku mulai terasa sakit. Kaki mulai terasa capai.  Kami tetap melangkah untuk menuju ke Pasar Puri di Kota Pati.  Berat dan capai terasa  hilang, sewaktu teringat buku yang mau aku beli. Usai membantu berjualan, aku dan ibu menuju ke toko buku Damai yang terletak di Jl. Pangliman Sudirman Kota Pati untuk membeli   sebuah buku impian yaitu buku Himpunan Pengetahuan Umum atau terkenal dengan singkatan HPU.

Setelah itu, saya dan ibu pulang. Sesampai di rumah, tanpa harus diminta oleh guru, kuhafal, kupelajari  dan kutelan seluruh isi buku tersebut. Aku tidak peduli, kekecewaanku yang tidak dipilih untuk mewakili pelajar teladan tidak membuatku surut  untuk tetap belajar. Siapa tahu ilmu tersebut bermanfaat. Aku masih teringat ketika Pak Rojaq guru ngajiku pernah memberikan ceramah bahwa barang siapa yang ingin meraih dunia maka dengan ilmu, barang siapa menginginkan akherat maka dengan ilmu dan barang siapa ingin kedua-duanya maka dengan ilmu. Oleh karena itu aku tetap rajin belajar. Disamping itu beliau juga pernah mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum apabila kaum tersebut tak mau mengubahnya.

Kamis, 10 Oktober 2019

Ditulis dan dipostingkan oleh Admin Blog

DAMAILAH NEGERA INDONESIA

Negara dimana kami dilahirkan
Negara dimana kami dibesarkan
Negara dimana kami mengais rejeki
Negara dimana kami berkeluarga
Negara dimana kami membesarkan dan mendidik anak anak kami
Negara dimana anak anak kami akan memperjuangkan untuk hidup sebagai keluarga, masyarakat dan bernegara
Negara dimana kami akan menutup mata tuk selamanya
Dan negara dimana kami akan dikuburkan.

Senin, 27 Mei 2019

Ditulis dan dipostingkan oleh Penulis
Assalamualaikum Wr Wb, para pembaca yang budiman. Apabila para pembaca adalah seorang guru dari sekolah atau ustad dari sebuah pondok dan sangat menggemari tulis menulis secara online, penulis hadirkan sebuah buku dengan judul BLOG UNTUK WEBSITE SEKOLAH. Buku ini adalah pengalaman penulis 20 tahun menjadi seorang guru dan 10 tahun diberi tugas tambahan menjadi Admin Website Sekolah dimana penulis mengajar.


Blog ternyata bisa diseting dan dikelola menjadi sebuah Website Sekolah. Pengalaman penulis mengikuti beberapa kali lomba Website Sekolah yang diselenggarakan oleh BPTIK Jateng, merupakan pengalaman yang sangat berharga untuk menyeting Blog dengan tampilan Website Profesional. Blog yang penulis ikut sertakan pada Lomba Pengayaan Sumber Belajar berbasis Website Sekolah yang diselenggarakan oleh BPTIK DIKBUD Jateng pada tahun 2015, Alhamdulilillah berada pada Peringkat 4 Propinsi Jawa Tengah. Memang belum bisa menjadi yang terbaik, tetapi tidak ada salahnya penulis berbagi untuk menyeting dan mengelola Blog untuk dijadikan Website Sekolah.


Buku ini sudah diterbitkan dan ber ISBN, namun baru proses penggandaan. Demikian, semoga bermanfaat. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr Wb.
Ditulis dan dipostingkan oleh Penulis.
     Assalamualaikum Wr Wb para pembaca yang budiman. Keinginan untuk berbagi pengalaman, aku dokumentasikan ke dalam sebuah novel dengan judul MENGGAPAI ASA MERAIH IMPIAN. Novel ini dibantu penerbitannya oleh teman penulis Pak Hendrik dengan nama Penerbit Harta Media. Novel diterbitkan pada awal tahun 2019.


     Menggapai Asa Meraih Impian adalah perjuangan penulis untuk meneruskan SMP,SMA dan Perguruan Tinggi dalam menuntut ilmu. Penulis demikian menyadari bahwa Allah SWT tidak akan merubah suatu nasib suatu kaum apabila mereka sendiri tak mau mengubahnya.

     Ada pepatah mengatakan Maksud Hati Memeluk Gunung Apa Daya Tangan Tak Sampai.Maksud hati ingin meneruskan sekolah atau kuliah namun karena biaya tak mencukupi maka niat dan keinginan untuk melanjutkan menuntut ilmu : sekolah, kuliah, mondok harus dikubur dalam dalam. Mungkin pepatah ini cocok bagi mereka yang kurang percaya kepada Allah SWT. Bukankah salah satu penggalan ayat Al Qur'an mengatakan bahwa Lilahimafisamawati wama filardhi : Dunia langit dan isinya adalah milik Allah SWT.

     Penulis sangat yakin bahwa bila Allah SWT sudah berkehendak maka sesuatu pasti terjadi. Bila gunung yang ingin kita daki demikian tinggi, maka kita bisa tempuh dengan berlari. Bila kita tidak bisa berlari, kita bisa menaiki dengan berjalan. Bila kita tak dapat berjalan, kita bisa mbrangkang bahkan ngansut untuk sampai ke puncak.

     Para pembaca yang budiman, Novel dengan judul Menggapai Asa Meraih Impian, adalah perjuangan penulis untuk mencapai impiannya yaitu ingin memperbaiki nasib. Novel Menggapai Asa Meraih Impian  adalah pengalaman penulis waktu SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Selain itu bagi para pembaca yang suka berpetualang, aku tuliskan pada beberapa bab tentang Mendaki Gunung Ungaran dan Mendaki Gunung Lawu. Tak hanya itu. dalam novel itu ada pengalaman penulis waktu mampir ke Pesantren dan lolos test mengikuti Guru Pemandu atau Instruktur Guru Bahasa Inggris.


     Para pembaca yang budiman, tak ada maksud sedikitpun dari penulis untuk menggurui para pembaca. Tak ada maksud untuk pamer yang dapat menimbulkan salah satu penyakit hati Ujub atau Riya. Namun apa salahnya beberapa kejadian nyata yang aku tuliskan di novel itu dapat menjadikan sebuah motivasi bagi para pembaca.

     Novel ini bisa dimiliki dengan menyokong ongkos terbit dan ongkos cetak dengan  harga yang sangat bersahabat yaitu Rp. 25.000. Para pembaca yang berminat silakan datang sendiri di Foto Copy Depan SMP Negeri 1 Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Atau para pembaca yang jauh bisa ditambah Ongkir dengan menghubungi WA 081 390 310 908. Demikian, terima kasih. Semoga bermanfaat. Wassalamualaikum Wr Wb.