Ruang kelas I 8 ( satu delapan)
berada pas diatas ruang kepala sekolah. Siswa
kelas satu delapan berjumlah 40 siswa. Kami istirahat dua kali dalam
sehari. Hari itu hari Sabtu. Jam pertama dan kedua adalah melukis oleh Bapak
Soeroto. Jam ketiga dan keempat adalah Bahasa Inggris oleh Bapak
Hasbulah. Setelah itu istirahat, jam berikutnya adalah pelajaran sejarah oleh
Bapak Soeparno Hadi. Jam terakhir tidak ada guru alias kosong. Yang bertugas
piket pada hari itu sudah berusaha ke ruang guru untuk memastikan bapak guru
yang mengajar. Tetapi setelah dari ruang guru, mereka mendapat jawaban bahwa bapak
guru yang ada jam pelajaran dikelasku sedang sakit dan tidak ada tugas. Siswa
disuruh belajar sendiri sambil menunggu jam pelajaran berakhir.
“Medeka...,” terlontar dari beberapa
mulut temanku. “Kita bebas....,” kata
beberapa teman lain. Pesan untuk belajar sendiri yang dibawa oleh temanku tidak
terlaksana. Para siswa sibuk dengan urusan mereka sendiri. Ada yang ngobrol
keutara dan keselatan tanpa tujuan. Ada yang berjalan kesana kemari untuk
ngerjain teman. Ada yang berkelompok kecil untuk mendiskusikan cara bapak/ibu guru
mengajar. Ada yang sebagai profokator untuk mblurut alias pulang gasik sebelum
bel pelajaran terakhir berbunyi.
Maklum masih kelas satu. Masih
takut-takut. Menunggu adalah sesuatu yang paling membosankan. Dalam Bahasa Inggris,
“ Waiting is boring.” Aku sendiri tak banyak bicara. “Bagus itu, kalau pulang....,”
pikirku dalam hati. Aku kan dapat memanfaatkan waktu untuk kegiatan
yang lain di rumah. Pesan untuk belajar sendiri berubah menjadi situasi kelas yang kacau balau, seperti kapal pecah, sangat
ramai dan tidak menentu.
Separo dari teman kami termasuk aku
terprofokasi oleh beberapa teman yang mengajak pulang. Separoh dari teman
sekelasku terutama yang laki-laki dengan
menenteng tas keluar dari kelas. “Ayo kita pulang, ayo kita pulang, ayo kita
pulang!” ajak beberapa teman. Seandainya saja waktu itu tidak ada rasa takut, seandainya
saja di saat itu teman-teman tidak ramai, seandainya saja di waktu itu
teman-teman mengambil sikap yang kompak, kita semua akan selamat.
Setelah separoh dari kami keluar
kelas dan menuju anak tangga untuk turun, tiba-tiba muncul kepala sekolah, bapak
Roeslani Narimo naik dari anak tangga menuju ke kelas kami.
Serentak anak-anak yang tadi sudah
berada diluar kelas berlarian masuk menuju ke ruang kelas kembali. Mereka
berusaha untuk duduk kembali ke kursinya masing-masing untuk mencari selamat.
Demikian juga aku. Aku berlari sekuat tenaga untuk bisa mencapai tempat
dudukku.
Dengan hitungan detik, bapak kepala sekolah sudah berada di depan
kelasku. Ia sangat marah sekali. Beliau berkata,”Siapa yang menyuruh kalian
ramai seperti ini? Siapa yang menyuruh kalian pulang? Sekolah ini ada
aturannya. Sebelum jam pelajaran berakhir semua siswa dilarang untuk pulang.
Kamu kan dapat belajar!” Kami semua takut. Kami semua menundukkan kepala. Kami
semua diam seribu bahasa. Kami semua membisu. Tak sepatah katapun keluar dari
mulut kami. Kami semua memasukkan semua kata-kata marah yang mengandung nasehat
kebaikan kedalam telinga kami dan hati kami.
Setelah sepuluh menit bapak kepala
sekolah memberi wejangan, bel berakhirnya jam pelajaran terdengar. Kami semua
lega. Setelah bapak kepala sekolah menyuruh ketua kelas untuk menyiapkan, ketua
kelas melakukan perintah kepala sekolah.
Setelah semua siswa berdoa dan memberi salam, kami semua pulang.
0 komentar:
Posting Komentar