“Never
put off until tomorrow that we can do today.” Tak pernah menunda sampai besok
apa yang dapat kita dilakukan hari ini. Menunda berarti meniadakan. Aku tak
pernah menyia-nyiakan waktu. Kupakai waktuku seefektif mungkin. Informasi yang
telah kuperoleh dari seorang teman lebih berharga ketimbang emas murni 100 gram.
Bunyi bell pulang telah terdengar.
Jam pelajaran terakhir telah usai. Kukemasi semua buku dan alat tulis. Ketua
kelas menyiapkan dan berdoa bersama. Setelah selesai berdoa kami semua
menghormat kepada bapak guru, “Selamat siang, Pak. “Selamat, siang” pak guru
menjawab.
Kukayuh sepedaku. Kuikuti temanku
dari belakang. Setelah keluar dari jalan Gerbang SMAN 1 Pati , aku belok kanan
menyusuri Jalan Sudirman. Setelah sampai di pertigaan aku belok kiri, sampai
perempatan Pasar Puri , aku belok kanan ke arah timur menyusuri Jalan Diponegoro. Setelah sampai di
perempatan Jalan Penjawi, aku belok kiri dan aku ke utara aku susuri Jalan
Penjawi. Kira-kira 300 meter temanku menunjuk sebuah rumah limasan tua dengan
halaman yang sangat luas. Di sebelah rumah terdapat musholla tua tetapi
terlihat masih kokoh.
Kuketuk pintu sampai tiga kali sambil
mengucapkan salam. “Assalamualaikum,”kataku. “Walaikum salam,”terdengar suara
dari dalam rumah. “Apa benar ini rumah Bu Muniroh?” tanyaku kepada seorang
laki-laki setengah baya tadi. “Iya,”
jawabnya. “Boleh aku bertemu dengan Ibu Muniroh” tanyaku lagi pada orang
tersebut. “Tunggu sebentar, biar kupanggilkan,” jawab orang itu. Setelah aku menunggu
sebentar, perempuan tua dengan kulit putih muncul dari balik pintu. Kemudian
aku utarakan maksud tujuanku bertamu ke
rumah itu. Rupanya Ibu Muniroh menerima proposalku. “Baiklah, mulai
besok pagi kamu dapat tinggal disini tetapi dengan catatan kamu harus
rajin,jujur, mau sholat, mau membantu kerja sehabis pulang sekolah dan tidak
boleh sering pulang ke desamu. Sebagai imbalanya kamu dapat makan dan minum
disini, setiap pagi kamu dapat uang saku, dan setiap bulan kamu kuberikan uang
SPP untuk bayar sekolah. Kamarmu itu di bagian depan,” beliau menjelaskan
persyaratan untuk tinggal di rumah itu. “Aku bersyukur kepada-Mu, Ya Allah atas
jalan yang Engkau berikan kepada hamba-Mu ini,”hatiku berkata demikian. Secara
spontan kuucapkan terima kasih kepada Ibu Hajah Muniroh. “Syarat-syarat
yang begitu mudah,” pikirku.
Esok harinya, aku mohon doa restu ibu
dan saudara-saudaraku. Hari itu hari Minggu. Aku bawa beberapa potong pakaian
sekolah, pakaian harian dan buku-buku sekolahku.
Aku berjalan kaki kira-kira setengah kilo untuk sampai ke jalan raya. Setelah
menunggu sebentar ada mobil pick up ke
Winong. Dari Winong aku naik bis mini ke Pati. Setelah sampai di terminal aku
naik bis mini lagi jurusan Tayu kemudian turun di Jl. Penjawi Gang V.
Setelah tiba dan masuk rumah Hajah
Muniroh, kutata semua barang bawaanku di kamar yang telah diserahkan kepadaku
untuk ditempati. Di hari pertama di
rumah itu, aku berkenalan dengan para pekerja yang ada di situ. Nama-nama
pekerjanya adalah Mas Muakad, Mas
Sarusmanto, Mas Sunawi,Mas Pan,Mas Mat,Mas Jayen,Mas Tono. Karena aku adalah
anak baru, aku harus pandai-pandai menyesuaikan diri. Sopan santun dan andap ashor harus saya
tunjukkan kepada mereka semua. Sebagai anak baru aku harus pandai – pandai
mencuri hati mereka. Aku tak ingin ada konflik kecil kepada mereka sehingga aku
harus mengalah dalam pekerjaan ataupun dalam perkataan. Alhamduliillah, dalam waktu
relatif singkat, aku dapat beradaptasi dengan mereka.
Siang telah berlalu. Malampun telah
tiba. Setelah selesai menunaikan sholat magrib berjamaah dan makan malam ,
kucuci semua piring dan gelas yang telah dipakai oleh para pekerja untuk makan. Kemudian kutaruh piring dan gelas di rak yang terbuat dari
kayu.
Dari para pekerja itu yang masih bersekolah
adalah Mas Sarusmanto, Mas Kasnawi dan Mas Muakad. Mas Sarusmanto dan Mas
Sunawi sekolah di SMA sedangkan Mas Muakad kuliah di salah satu Perguruan
Tinggi Islam di Pati.
Setelah sholat Isya, kutata dan kusiapkan
buku-buku pelajaran yang besok pagi ada jadwal pelajaran. Aku belajar sampai pukul 09.00 malam. Setelah
merasa mengantuk, aku menuju ke tempat tidur.
Ibu Muniroh adalah sangat baik hati. Sebelum
tidur beliau menyulut obat nyamuk bakar dan dibagikan kepada semua pekerja dan
termasuk aku. Waktu itu usia beliau sekitar
60 tahun. Sebelum tidur beliau sering sholat beberapa rekaat setelah sholat
Isya dan memutar-mutar tasbih untuk berdzikir.
Pertama kali di rumah tersebut, terkejut ketika jam dua tiga puluh fajar,semua
pekerja harus dibangunkan. “Ayo bangun, ayo bangun, ayo bangun, sudah jam
setengah tiga!” suara terdengar agak keras dari seorang seniorku. Dengan mata masih terkantuk-kantuk, aku ikuti
instruksi seniorku. Aku menuju ke tempat pemotongan sapi yang berada di sebelah
rumah utama. Rumah ada dua. Rumah bagian depan dan rumah bagian belakang. Rumah
yang ada di bagian belakang dipakai
untuk tidur para pekerja dan rumah utama dipakai oleh ibu Muniroh. Sedangkan
dua kamar yang ada di bagian depan kupakai dan kamar satunya dipakai oleh Mas
Mat.
Walau masih mengantuk, aku harus
memaksa mataku terbuka. Kuraih tali dari
salah satu yang diikatkan di kaki sapi. “Ji...Ro....Lu.....regedeg...brug........,”
aba-aba dari seorang komando. Aku ikut menarik tali dengan sekuat tenaga sesuai
dengan perintah salah satu senior. Sapi besar jantan roboh seketika. Setelah sapi
roboh, dengan sigap lima pekerja
cepat-cepat mengikatkan tali pada kaki-kaki pada sebuah bambu sedemikian rupa
sehingga sapi tersebut tak mampu bergerak. Parang yang sangat tajam (sejenis
pedang) ditaruh di leher sapi tersebut oleh Mas Muakad, dengan menyebut “Audzubillahimina
syaetonnirojiin...,Bismillahirrohmannirrohim...,” Nges....suara parang yang sangat
tajam memotong leher sapi, keluarlah darah segar dan matilah sapi tersebut.
Kemudian sapi dikuliti dan dagingya yang bersih dibawa ke tempat pengolahan
daging.
Setelah selesai menyembelih dan
mengusung daging, tiba waktunya sholat shubuh. Mas Muakad mengumandangkan azhan
sholat shubuh dengan suara yang merdu dan khas. “Allahuakbar Allahuakbar2x... Ashhaduallaillahaillalloh2x...Ashaduannamuhammadarrosullulloh2x....Khaialassholah2x...Khaialalfallah2x....Asholatukhoiruminannaun2x....Allahuakbarallluhuakbar.
Laillahaillalloh....” Teman-teman secara bergantian menunaikan sholat shubuh
termasuk aku. Usai sholat dan berdoa seperlunya, aku mulai memotong-motong
daging untuk dipisah sesuai dengan jenisnya. Selain itu, para pekerja lain dan
aku memisahkan daging dari tulang.
“Ini daging untuk buat glindingan
baso,” kata salah seorang teman. Daging itu harus dihancurkan sampai lembut
dengan dua besi yang agak berat oleh kedua tangan. Akupun tak tinggal diam. Dengan
sekuat tenaga bersama dengan seorang pekerja senior, kuhancurkan dan
kulembutkan dua kilo daging . Keringatku
banyak yang keluar. Setelah kira-kira jam lima tiga puluh, aku sarapan dengan
membakar seiris daging segar yang kuolesi dengan kecap. Kulakukan ini,
sebenarnya meniru dari teman seniorku.
Setelah sarapan dan bersih bersih,
kubawa tas dan aku pamit untuk bersekolah. Aku diberi uang saku. Kemudian kukayuh
sepedaku menuju sekolah. Karena fajar,
aku harus bangun dan kerja extra keras, sesampai di sekolah aku sering
mengantuk. Apalagi kalau ada pelajaran oleh bapak atau ibu guru yang kurang
menarik dalam mengajar. Pernah aku ditegur oleh beberapa bapak dan ibu guru
karena mengantuk pada saat pelajaran berlangsung. Tetapi setelah kuceritakan
apa yang saya alami, mereka pun memaklumi keadaanku.
Walaupun demikian kalau akan ulangan,
aku harus belajar semaksimal mungkin
supaya dapat mengerjakan ulangan dengan baik. Aku menyadari bahwa di sekolah
kurang berkonsentrasi menerima pelajaran dikarenakan lelah dan mengantuk, oleh
karena itu buku-bukuku haruslah lengkap. Kalau bapak dan ibu guru sedang mengajar,
biasanya ku perhatikan buku-buku yang dipakainya, kemudian saya mencari
buku-buku tersebut di toko buku dan saya membelinya dengan menggunakan uang
sakuku yang beberapa hari kukumpulkan. Kemudian buku tersebut kupelajari pada
malam hari.
0 komentar:
Posting Komentar