Keinginan
yang begitu kuat untuk masuk ke SMA Negeri 1 Pati, membuat aku harus belajar
extra keras dan berdoa extra khusuk. Waktu masih tersisa kira kira dua bulan
lagi untuk ebtanas. Sepulang sekolah dan setelah makan siang dan sholat dhuhur,
kubawa buku catatan dan buku paket. Aku mencari tempat yang enak untuk menghafal
materi pelajaran tersebut. Sawah dan gubug sebagai tempat favoritku untuk
belajar. Tempat kedua yang kusenangi adalah di belakang rumah di bawah pohon
rindang.
Ujian Praktik dan ebtanas telah
dilaksanakan. Hasil ebtanas telah diumumkan. Tahun 1995 adalah ebtanas pertama
bagi satuan pendidikan SMP yang mana hasil dari ebtanas tersebut digunakan
langsung untuk mendaftar SMA/SMEA/SPG/SGO/MAN. Hasil ebtanas ku adalah 45,00
dan berada di peringkat tiga sekolah. Rangking pertama diraih oleh Kaslan
dengan jumlah nilai 48,00. Sedangkan peringkat kedua diambil oleh Patmolujeng. “Terima
kasih, Ya Allah,” aku bersyukur kepada Allah. Walau aku memperoleh nilai yang lumayan tinggi, aku kurang yakin dengan
nilaiku untuk masuk ke SMAN 1 Pati.
Pendaftaran sekolah telah dibuka. Aku
foto copy nilai Ebtanas dan Ijazahku dan kulegalisir rangkap lima. Pada waktu
itu, aku mendaftar tiga sekolah sekaligus. Target pertamaku adalah masuk di SMA Negeri Pati . Target kedua adalah
SMEA Pati. Sedangkan sekolah ketiga yang kutuju adalah SMAN 2 Rembang. Semua
persyaratan pendaftaran kulengkapi. Salah satu syarat pendaftaran adalah foto
copy hasil ebtanas yang sudah dilegalisir. Pada waktu itu nilai yang dipakai
untuk mendaftar adalah foto copy nilai murni yang sudah dilegalisir, tidak
menggunakan nilai Ebtanas asli. Oleh karena itu, setelah pengumuman namaku tertulis di daftar pengumuman siswa
baru yang diterima. Namaku ada di daftar pengumuman di SMA Negeri 1 Pati, di SMEA
1 Pati sekaligus di SMA Negeri 2 Rembang. Karena sejak awal aku ingin masuk ke
SMAN 1 Pati, maka untuk sekolah secara otomatis kutinggalkan. Bukan aku tidak
senang pada sekolah tersebut, tetapi tidak mungkin aku bersekolah di tiga
tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan.
Senang dan sedih bercampur dalam
hatiku. Senang karena aku dapat memasuki
sekolah menengah yang tervaforit di Kabupaten Pati pada saat itu. Dengan
bermodal tekat dan kemauan yang keras
tanpa tes dan tanpa membayar uang sepersenpun hanya dengan bermodal nilai Ebtanas, aku dapat memasuki
sekolah yang bergengsi. Gembira, karena Allah telah mengabulkan salah satu doaku
untuk bersekolah di SMAN 1 Pati. Sedih, karena aku harus memikirkan seragam.
Sedih, karena aku harus membayar uang BP 3. Susah, karena aku harus membeli
buku buku catatan atau buku paket. Susah, karena aku harus berusaha sendiri
bagaimana aku harus dapat makan minum dengan usaha sendiri . Sedih, karena aku
harus menempuh perjalanan yang begitu jauh setiap hari kira-kira 16 kilometer dari
desaku ke SMAN 1 di kota Pati.
Tidak masalah. Aku menghibur diri.
Insya Allah, Allah akan memberi jalan
keluar dari semua kesulitan ini. Dengan sepeda onthel RRT yang diberikan oleh
keluarga bapak Roeka, kukayuh setiap jam 5 fajar sehabis sholat subuh. Jarak
yang begitu jauh kutempuh kira-kira satu setengah jam. Sehingga pukul enam tiga
puluh sudah sampai di halaman sekolah.
Hari-hari pertama masuk sekolah, aku
masih bersemangat untuk bersepeda. Tetapi setelah dua bulan kujalani, aku mulai
kelelahan. Aku mulai berfikir adalah tidak mungkin aku kost karena ibuku tak dapat
dapat membayar biaya kost. Adalah tidak mungkin ibu mampu membayar SPP dan BP
3. Adalah tidak mungkin, ibu membelikan buku-buku secara terus menerus. Adalah
tidak mungkin, ibuku membelikan pakaian seragam dan pakaian harian untukku.
Adalah tak mungkin, ibuku membayar iuran sekolah yang mendadak. “Ya Allah,
berikan jalan keluar dari semua masalah yang kuhadapi,” doaku kepada Yang Maha
Kuasa.
Waktu terus bergulir. Tahun berlalu.
Bulan berjalan. Hari berlari. Jam,menit dan detik berkejaran. Seiring waktu
yang berganti, bertambah pula usiaku. Adalah tak baik, aku membebani ibu terus
menerus. Aku harus mandiri. Aku harus mampu belajar sambil bekerja. Aku harus
mampu membagi waktuku seperti aku duduk di bangku SMP ku dulu.
Waktu itu aku duduk di kelas I 8
(satu delapan). Teman-temanku rata-rata
dari golongan orang yang berada. Banyak dari mereka yang berkendara sepeda
motor bila bersekolah. Waktu
beristirahat tiba, aku duduk ngobrol dengan temanku. Kuswanto namanya. Dalam
pembicaraan tersebut kami ngobrol keutara keselatan tak tentu arah, mulai dari
asal sekolah, asal desa, kerja orang tua, sampai permasalahan yang kami hadapi.
Kemudian aku bertanya pada temanku,
“Kus, adakah di sekitar tempat tinggalmu sebuah keluarga
yang mau menerimaku? Aku dapat bekerja di sana, aku dapat minum disana, aku
dapat beristirahat disana, aku dapat sholat disana, aku dapat membaca Al Quran
disana, aku dapat beribadah disana, aku dapat tidur disana, aku dapat belajar
disana, aku dapat bersosialisasi disana, aku dapat menyandarkan seribu
harapanku disana? Banyak pertanyaan yang kulontarkan kepadanya. Ia hanya
terdiam.
Kuswanto, juga dari keluarga yang
kurang berada. Ibunya berjualan bubur dan lonthong di pagi hari sebagai
sandaran hidup. Sepulang sekolah, ia harus bekerja membanting tulang membungkus
es cemut pada seorang pedagang keturunan. Sebagai imbalannya, ia diberi uang
jajan setiap hari dan uang SPP setiap bulan.
Lama ia berfikir untuk menjawab
pertanyaanku. Akhirnya ia angkat bicara, “Baiklah, ada tetangga saya yang setiap fajar menyembelih sapi. Ia
seorang janda, sudah haji. Namanya Hajah Muniroh. Anak-anak beliau sudah
berhasil semua. Ia baik hati dan suka menolong. Ada sekitar 5 pekerja, 3
diantaranya masih sekolah. Alamatnya di Jalan Penjawi Gang V. Temuilah beliau.
Siapa tahu beliau dapat membantumu.” “Terima kasih, Kus, nanti setelah
pelajaran aku akan meluncur ke lokasi tersebut,” jawabku kepadanya.
0 komentar:
Posting Komentar