Wali
kelas VI telah mengumumkan hasil ujian. Aku mendapat rangking 1 di Sekolah Dasarku.
Aku bertekad bulat untuk meneruskan sekolah ke SMP. Aku tahu bahwa si teman yang sudah mewakili
pelajar teladan sudah terlebih dahulu mendapat tempat di salah satu guru SD ku
dan sudah mendaftar di SMP.
Seorang teman lain dan masih saudara
yang telah menamatkan SD terlebih dahulu
pernah mengungkapkan sebuah pepatah. Ia berkata, “Maksud hati memeluk gunung tetapi
apa daya tangan tak sampai.” Kemauan ingin
melanjutkan sekolah di SMP, tetapi dikarenakan biaya tidak mencukupi karena orang
tua kurang mampu, ia mengurungkan niatnya. Saudaraku tadi menyerah. Tak sedikit
biaya yang harus dikeluarkan pada waktu
itu, untuk masuk ke SMP. Pada awal masuk SMP, orang tua siswa harus menyediakan
uang gedung atau uang bangku dan uang seragam.
Kalau pepatah tersebut dipegang temanku, sehingga ia mudah menyerah untuk
tidak meneruskan sekolah, tetapi pepatah itu
tidak berlaku bagiku. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak
sampai. Kalau gunung itu jauh, bila harus ditempuh dengan berlari, ya, aku harus
berlari. Apabila tidak mampu berlari
untuk sampai ke gunung tersebut, aku harus
berjalan cepat. Jika tidak kuat berjalan cepat, aku harus berjalan santai. Kalau tak kuasa berjalan, aku harus mbrangkang.
Kalau tak sanggup mbrangkang, ya aku harus ngangsut. Memang letih, memang
penat, memang capai, memang susah dan memang menderita harus mendaki gunung dengan ngangsut.
Pada kenyataanya, secara ekonomi ibu tidak
sanggup membiayaiku melanjutkan sekolah dengan membayar uang pangkal/uang
gedung dan uang seragam. Namun niat dan semangatku tak akan pernah lekang oleh teriknya
panas matahari dan tak pernah lapuk oleh derasnya air hujan, tak akan pernah
tergerus oleh derasnya arus sungai, dan tak pernah sedikitpun goyah oleh
besarnya badai yang menghantam. Aku harus tetap belajar. Aku harus tetap meneruskan
sekolah ke SMP. Oleh karena itu pada
suatu sore hari, dengan sepeda ontelku, aku pergi ke salah seorang guru SD ku di desa Kebowan. Nama guruku tersebut adalah
Pak Sugiharto. Desa tersebut terletak kira kira 2 km dari desaku.
“Kulonuwun...Assalammualaikum,”
dengan mengetuk pintu kuucapkan salam. “Monggo, Waalaikumsalam,” terdengar jawaban dari balik pintu. “Silakan masuk,
Mas, “ guruku mempersilakan aku masuk. Aku masuk dan duduk di kursi ruang tamu. “Maaf,
Pak, kedatanganku kesini hanya merepotkan Bapak.” kataku untuk memberi rasa
sopan. Kemudian aku berkata, “Aku kesini
mau minta tolong sama Bapak . “Minta tolong apa Mas?” beliau penasaran. “Tolong
Pak, aku mohon carikan orang yang mau membiayaiku bersekolah ke SMP. Saya siap untuk membantu kerja apa saja yang
penting halal, “kataku. Guruku agak bingung mendengarkan pintaku. Setelah
beberapa saat menundukkan kepala dan berfikir, akhirnya beliau menjawab. “Baik,
Mas,tunggu satu atau dua hari lagi. Akan aku carikan orang yang mau
menyekolahkan Mas,” kata beliau menyanggupinya. Mendengar kesanggupan beliau yang
demikian, aku terdiam dan merasa senang sekali, aku mohon pamit dan pulang,
tentu saja setelah mengucapkan terima kasih.
Sesampai di rumah aku berdoa , “Ya
Allah, semoga aku mendapatkan tempat yang aku harapkan.” Dua hari berikutnya, seperti
biasa aku dan beberapa teman berangkat menuju ke sekolah. Hari itu hari
penerimaan nilai Ebtanas dan Ijasah dari SD-ku. Sesampai di sekolah sekitar jam
10 pagi, guru kelas 6 memanggil satu demi satu siswa. Sesampai giliranku,
akupun maju beberapa langkah dan melihat hasil nilai ujian murniku.”Terima
kasih ya Allah, aku memperoleh nilai tertinggi.” kataku dalam hati.
Dengan segudang harapan, kutemui Pak
Sugiharto di ruang guru, “Oh ya, sini Mas, Silakan Mas mendaftar saja ke SMP
Negeri Winong. Kalau pada pengumuman, Mas positip diterima, ada seseorang yang
akan mencarimu.” “Ya Pak, terima kasih sekali,” aku menjawab. Saya percaya dan yakin akan janji guruku itu,
tanpa keraguan sedikitpun.
Hari itu juga, aku mendaftarkan diri
ke SMPN 1 Winong. Dua hari berikutnya pengumuman. Nama-nama siswa baru yang
diterima sudah ditempel di papan pengumuman. Setelah kucari namaku, ternyata
namaku tertera disitu. Berarti aku diterima. Setelah beberapa saat, ada
seseorang yang ingin menemuiku. Sambil
menyelidik orang tersebut bertanya pada
calon siswa yang ada di sekitar-ku. “Adakah siswa disini yang bernama Damin?” “Ya, Pak itu aku,”jawabku sambil maju dua
langkah. “Betul Pak, itu namaku,” aku meyakinkan beliau. “Perkenalkan, namaku
Roeka. Kalau kamu berniat sungguh-sungguh untuk bersekolah, datanglah besok
pagi di rumahku. Rumahku tidak jauh dari sini. Dari SMP ini ke timur kira-kira setengah
kilometer, disitu ada Pasar Winong . Di sebelah Pasar Winong ada jalan ke selatan
dan ikuti jalan itu. Di penghujung pasar itu rumahku,” beliau berkata demikian.
“Ya, Pak, terima kasih,” aku menjawab. Setelah mengetahui jawabanku bapak itu pergi
meninggalkanku.
Sejuta harapan terjawab sudah. Waktu
itu, hanya sedikit temanku yang dari
golongan mampu, meneruskan anak mereka ke SMP. “Terima kasih,
ya Allah,” aku bersyukur dalam hati. Kupandang langit biru. Kudengar kicauan
burung kutilang di sekitar sekolah. Pada saat itu, masih terdengar nyanyian
burung-burung yang berkeliaran di alam bebas; burung
kutilang,jalak,cendet,pelatuk,drekuku, dan perkutut.
Tak ada orang lain di dunia ini
segembira aku. “Aku dapat bersekolah. Aku
dapat meneruskan sekolah di SMP. Aku diijinkan sekolah oleh Yang Maha Kuasa.
Allah telah mejawab salah satu doaku,” kataku dalam hati untuk mensyukuri
nikmat Allah yang telah diberikan
kepadaku.
Segala sesuatu yang aku alami semua
kuceritakan pada ibu. “Ibu, aku diterima di SMP Negeri Winong. Aku telah
memperoleh tempat untuk berpijak, yaitu di rumah keluarga Bapak Roeka di dukuh
Cangaan, Winong. Ijinkan aku Bu untuk menuntut ilmu untuk bekalku di dunia dan di
akherat nanti,” aku berkata dan sekaligus memohon ijin pada beliau. “Ya..le,”
jawab ibuku. Mulai besok aku harus keluar dan pergi dari rumah ini. Mulai besok,
aku harus bertempat tinggal di rumah keluarga Pak Roeka.
Sore itu, matahari mulai tenggelam di
ufuk barat. Seperti biasa kulangkahkan kaki untuk mengaji. Mungkin malam ini
aku harus berpamitan dengan masjid tercintaku.
Setelah kukumandangkan adzan Magrib, kulantunkan sholawat dan kutunaikan
sholat Maghrib berjamaah, aku menengadahkan tangan seraya berdoa...”Ya, Allah, tolonglah
hamba-Mu ini. Aku memohon kepada-Mu, selalu bimbinglah aku ke jalan-Mu yang
lurus dan jalan yang Engkau ridhoi. Kami mulai besok pagi akan bertempat tinggal
di rumah keluarga bapak Roeka. Selalu lindungilah aku. Atas pertolongan-Mu, Ya Allah, jadikan kami
kerasan di rumah tersebut. Mudahkanlah aku dalam menuntut ilmu di SMP Negeri 1
Winong,” demikian aku mendo’a. Kemudian
aku berkata di dalam hatiku,”Selamat tinggal masjidku. Mudah-mudahan saya dapat
menemukan tempat ibadah dan guru ngaji di tempat baruku nanti.”
Setelah pulang dan menghabiskan sisa
malamku, aku bangun di waktu adzan subuh. Setelah sholat subuh di kamar tidur,
aku mengemasi beberapa potong kaos, celan pendek dan seragam SD. Aku tidak lupa
membawa rapor, ijazah dan surat penting lainnya. Karena aku tak punya tas berukuran besar,
kucoba plastik kresek hitam untuk menaruh barang-barangku, ternyata plastik itu
terlalu kecil sehingga tidak muat. Terpaksa aku pakai kain kantong gandum putih sebagai pengganti tas.
“Audhubillahiminasyaetonirrojiim...
Bismillahirrahmannirrahim. Ya Allah...lindungi aku..... kuatkanlah aku....,”sambil
meneteskan air mata, kutinggalkan desa tercintaku. Kupanggul kantong putih yang
berisi beberapa potong kain. Aku berjalan kira-kira setengah kilo dengan
memanggul kantong terigu putih menuju ke jalan raya. Selanjutnya dengan naik
kereta kuda, aku menuju kerumah keluaraga pak Roeka.